Gerakan
Pramuka sebagai organisasi pendidikan non formal yang turut berperan dalam
pendidikan kaum muda Indonesia, tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan.
Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana cara dan usahanya untuk
menanggapai berbagai perubahan, terutama yang berdampak bagi kaum muda. Gerakan
serta semangat yang kini bergulir, intinya menghendaki perubahan tantanan baru
dengan segala perbaikan, keselarasan dengan tuntutan yang lebih transparasi.
Dilandasi dengan ketakwaan, kejujuran, kebenaran, keadilan dan keidealan.
Sementara
disisi lain Gerakan Pramuka sebagai pelengkap pendidikan formal dan informal
dituntut ikut memberikan kontribusi positif terhadap lahirnya generasi baru di
masa datang, yang mampu diwarisi pesan-pesan moral keagamaan. Di dalam Prinsip
dasar kepramukaan pada point pertama berbunyi ”Iman dan Takwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa” hal ini jelas menyatakan bahwa Iman dan Takwa merupakan landasan
utama pendidikan Kepramukaan walau Gerakan Pramuka itu sendiri adalah
organisasi yang sangat umum dan luas sifatnya. Prinsip Dasar Kepramukaan ini
sendiri adalah asas yang melandasi kegiatan kepramukaan dalam upaya membina
watak peserta didik (LEMDIKANAS, 2008 : BS-2.4)
Kegiatan
Kepramukaan sering dipersepsikan sebagai kegiatan yang monoton, sejak menjadi anggota
Pramuka di Sekolah Dasar pada tingkatan Siaga sampai Pandega, yang dipelajari
hanya itu-itu saja seperti tali- temali, morse, sandi dan menyanyi. Kegiatannya
hanya dianggap sebelah mata dan terkadang dalam kegiatannya di lapangan selalu
menjadi perbincangan masyarakat.
Tentu
saja persepsi
ini tidak semuanya benar, banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan
Kepramukaan yang tidak diketahui oleh masyarakat awam. Gerakan Pramuka sebagai
organisasi Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia telah berupaya dengan optimal
dan pola pembinaan yang berkesinambungan dalam mengimbangi tuntutan dewasa ini,
dengan kondisi tersebut melalui salah satu wadahnya Gerakan Pramuka melakukan
pembinaan bagi generasi muda/peserta didik dengan berbagai kegiatan yang
diantaranya malam bina iman dan takwa, perkemahan sabtu minggu, tadabur alam
atau out bond.
Pendidikan
yang berorientasi pada pembentukan kognitif siswa, belum berjalan dengan apa
yang diharapkan dikarenakan siswa belum mampu untuk mengaplikasikan kearah
afektif. Akibatnnya siswa hanya mampu memahami materi saja, tetapi belum biasa
menjalankannya dalam kehidupan sehari- hari.
Sangat disayangkan sekali jika siswa madrasah tidak dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari- hari karena kemampuan yang dimiliki telah mencapai taraf
formal dimana anak mampu berpikir secara logis. sehingga diharapkan siswa dapat
pula memikirkan pencarian solusi dari suatu masalah.
Dua kelompok manusia yang kita lihat terlibat
secara langsung dalam kegiatan pendidikan adalah guru dan peserta didik. Kedua
pihak ini mempunyai kedudukan yang setara di hadapan Allah, keduanya sama-sama
manusia ciptan-Nya. Masing-masing pihak berada dalam suatu interaksi, namun
dengan peranan yang berbeda. Guru sebagai penolong berusaha memberi bantuan
kepada peserta didk untuk mengembangkan dirinya secara utuh berdasarkan kasih
yang mebarui. Guru berdiri di antara peserta didik dan Tuhan yang memberi
tanggung jawab. Guru dengan ilmu pengetahuan yang telah dan terus- menerus
dikuasainya beserta dengan seluruh pengalamanya mengantarkan peserta didik ke
arah pengenalan akan ciptaan Tuhan dengan segala hukum- hukumNya(W.
GulĂ´,2002:22).
Seorang guru mempunyai andil sangat besar dalam
mendidik, mengayomi, dan mengajar peserta didiknya. Seorang pendidik tidak
hanya sekedar pengalih informasi ke anak didik, tetapi juga sebagai fasilitator
bagi pengembangan diri anak didiknya. Apalagi guru agama, harus memiliki nilai
lebih dari guru- guru yang lain baik dari ilmu maupun karakteristiknya. hal ini
dikarenakan akan di terapkan oleh anak- anak dalam kehidupan sehari- hari.
Terutama dalam materi praktik ibadah siswa, siswa
hanya sekedar tahu teori yang disampaikan oleh guru dan mempraktikannya hanya
sebatas ingin mendapatkan nilai, inilah mengapa ketika anak telah menuntaskan
pendidikanya di tingkat SMP/MTs dan SMA/K/MA anak tidak begitu merasakan ilmu
yang didapatkannya ketika masih bersekolah.
Waktu yang sangat kurang dalam materi praktik
ibadah dalam pembelajaran PAI menjadi masalah utama, dimana seorang guru sangat
terbebankan dikarenakan jam yang ada dalam kelas sangat tidak cukup untuk
menyampaikan materi secara mendalam dan ditambah lagi dalam praktiknya.
Kurangnya waktu merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat pemahaman siswa
di kelas, karena guru tidak tuntas dalam mentransfer ilmunya.
Dalam
Undang- undang tentang sistem pendidikan nasional No. 20 tahun 2003 pasal 37
ayat 1, ditegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
antara lain pendidikan agama. Ini berarti setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan disetiap sekolah wajib memberikan pendidikan agama kepada anak didik
sesuai dengan agama yang dianutnya. Adapun tujuan pendidikan Islam bukan saja
berorientasi pada keakhiratan dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan
berakhlak mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang
dimilikinya terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat serta cita- cita Islam itu
sendiri, sehingga manusia(peserta didik) tersebut mampu menunaikan tugas
hidupnya sebagai khalifah yang sekaligus sebagai insan yang mengabdi kepada Allah swt.
Dengan demikian guru PAI harus lebih mampu memanfaatkan sarana pendidikan
kepramukaan dalam kegiatanya yang salah satunya adalah perkemahan sabtu-
minggu(PERSAMI) untuk dapat mengajarkan segala bentuk praktik ibadah agar anak
lebih merasa paham akan materi atau teori yang selama ini didapatkan di dalam
kelas. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang bagaimana proses kegiatan
kepramukaan di gunakan sebagai sarana praktek ibadah oleh guru PAI dalam
mengembangkan pembelajaran agama islam dengan judul Persami Sebagai Sarana Praktik Ibadah Dalam Pembelajaran PAI Pada Siswa
SMP Negeri 2 Wonosari Klaten.